From Waste to Energy : PLTSa

Solusi ataukah masalah baru?

Ester Rosdiana Sinaga
4 min readMay 12, 2021

Masalah sampah adalah masalah yang menarik perhatian banyak pihak, baik dari masyarakat dan pemerintah. Sampah di Indonesia saat ini mencapai 64 Juta Ton per tahun (woww). Dalam rangka mengatasi sampah, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Pepres no 35/2018 mengenai percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan atau PLTSa.

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) adalah pembangkit listrik termal dengan supercritical steam dan berbahan bakar sampah atau gas metana sampah. Sampah dan gas metana sampah dibakar untuk menghasilkan panas yang memanaskan uap pada boiler steam supercritical. Saat ini, Pemerintah Indonesia tengah membangun infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota di Indonesia. Pembangunan dimulai sejak tahun 2019 hingga 2022.

Lokasi Perencanaan pembangunan PLTSa di Indonesia (Sumber : Indonesiabaik.id)
PLTSa di TPA Benowo, Surabaya (Sumber : Merdeka.com)

Seminggu yang lalu, pada tanggal 6 Mei 2021, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Benowo Surabaya, Jawa Timur telah diresmikan. PLTSa Benowo dibangun di atas lahan seluas 37,4 hektar. Setiap harinya sebanyak 1.000 ton sampah diolah di PLTSa ini. PLTSa ini menghasilkan daya sebesar 9 MW. PLTSa Surabaya mampu mengolah 95% sampah yang dihasilkan di seluruh Kota Surabaya. Dalam kegiatan operasionalnya, PLTSa ini bisa mengolah hampir semua jenis sampah yakni sampah organik maupun non-organik. Pihak pengelola hanya perlu memilah sampah-sampah seperti kaca dan besi agar tidak mengotori tungku pembakaran.

Proses pengolahan sampah menjadi sumber energi listrik dimulai dari memasukkan sampah-sampah ke waste storage pit (bunker sampah), di tempat ini sampah akan dibiarkan 6–7 hari untuk menurunkan kadar airnya. Selanjutnya, sampah akan diangkut menuju proses pre-treatment yang berfungsi untuk memilah sampah dari harmful material yang dapat menganggu proses produksi. Sampah tanpa harmful material akan dikeringkan kembali sebelum masuk ke sistem pembakaran. Pada sistem pembakaran, sampah akan dimasukkan ke turbine roller, selanjutnya ke gasifikasi. Gasifikasi merupakan proses pembakaran atau mengubah sesuatu menjadi arang. Proses pembakaran dalam gasifikasi hanya memerlukan sedikit oksigen. Pada gasifikasi akan dilakukan pemanasan sehingga pada system combustion tahap satu dihasilkan gas bersuhu 850 C . Selanjutnya dinaikkan ke system combustion ke dua sehingga suhunya mencapai 1100 C. Uap panas yang dihasilkan kemudian dialirkan ke boiler sehingga dihasilkan steam , dimana steam ini akan menggerakkan steam turbine untuk menghasilkan listrik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang diinisiasi pemerintah di 12 daerah berpotensi membebani anggaran pemerintah daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk jangka waktu 25 tahun sejak kontrak diteken. Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan bahwa pemerintah daerah dibebankan dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) yang besarannya beragam untuk tiap daerah. Misalnya, Pemda Semarang harus menanggung tipping fee sebesar Rp 259,51 miliar untuk 900 ton sampah per hari.

Proyek ini akan membebani pemda karena kontrak yang dianut yakni take or pay, artinya jika Pemda tak mampu mencapai tonase sampah yang diperjanjikan maka investor berhak mendapatkan tipping fee sebanyak volume yang dijanjikan. Proyek PLTSa ini dinilai KPK akan membebani PLN akibat harga jual listrik yang dikenakan. Pahala mengungkapkan, harga jual yang dikenakan dari proyek ini mencapai US$ 13,35 sen per kWh. Sementara rerata harga listrik untuk batubara contohnya, besaran harga jual yang dikenakan sebesar US$ 4 sen hingga 5 sen per kWh.

Selain itu, jika listrik yang dihasilkan kurang dari kapasitas, maka berlaku kondisi take or pay, dimana PLN tetap harus membayar tarif dikalikan kapasitas yang dijanjikan. Menurut Pahala, jika proyek ini diteruskan pun target bauran EBT 23% belum akan tercapai. Seluruh proyek PLTSa diprediksi hanya akan menambah kapasitas sekitar 234 MW.

Berikut kelebihan dan kekurangan dari PLTSa :

Plus

  • Dapat mereduksi volume sampah dengan cepat dan besar
  • Mampu mengelola sampah organik dan anorganik
  • Bisa menyediakan energi listrik dalam jumlah yang besar

Minus

  • Butuh ketersediaan sampah dengan pasokan besar dan kontinu (1000 ton/hari).
  • Mengharuskan produksi sampah terus menerus — bertentangan dengan prinsip reuse dan reduce.
  • Memburuhkan teknologi tinggi dengan harga mahal dan dioperasikan oleh pihak tertentu. Ada impor dari jerman, tiongkok, dan juga dari amerika.
  • Mengalienasi partisipasi masyarakat (mengurangi hingga menghilangkan partisipasi masyarakat dalam membersihkan lingkungan)
  • Masih menyisakan polusi udara sisa bakaran dan polusi tanah. (masih menjadi pro dan kontra karena pihak aktivis menganggap terdapat polusi udara dalam jumlah besar namun pemerintah mengklaim teknologi yang digunakan menghasilkan emisi gas yang 95–99 persen bersih dari racun dan mengklaim bahwa gas buangan PLTSa lebih bersih dibandingkan asap yang dihasilkan di sektor industri).

Menurut penulis, solusi yang dapat mengurangi dampak negatif yang dihasilkan oleh PLTSa ini adalah dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga biomassa. Pembangkit listrik jenis ini menggunakan bahan baku berupa limbah organik (limbah makanan, kotoran hewan, dan limbah pertaniann) yang dapat ditemukan di lingkungan masyarakat. Hal ini akan mendukung misi zero waste. Teknologi ini juga relatif murah dan sederhana jika dibandingkan dengan PLTSa . Teknologi ini juga dapat dioperasikan dalam skala komunitas, sehingga sesuai dengan prinsip “mengelola sampah sejak dari sumbernya”. Teknologi ini juga rendah emisi sehingga sangat ramah bagi lingkungan.

--

--